"That you may be strong be a craftman in speech for the
strength of one is the tounge and the speech of one is mightier than all
fightings”
~Ptahhotep (written 5.000 years ago)
Artikel ini saya tulis untuk memberikan bahan pemikiran pada
para orangtua dan pendidik mengenai pentingnya bahasa untuk perkembangan anak.
Sebagai sesama orangtua dan juga seorang pendidik sudah tentu kita ingin
memberikan yang terbaik bagi putra-putri kita. Kita ingin memberikan bekal yang
bisa digunakan anak, kelak, dalam mengarungi samudera kehidupan. Kita semua
ingin anak kita sukses. Kita semua, mengutip apa yang ditulis oleh sahabat saya
Joseph Landri, bermimpi suatu saat nanti anak kita akan menjadi naga.
Orangtua memahami pentingnya pendidikan sebagai fondasi
sukses. Namun sayangnya kebanyakan orangtua kurang kritis dan hanya mengikuti
trend yang sedang “in”. Salah satunya adalah mengenai bahasa.
Dulu, waktu komputer baru menjadi trend, setiap orangtua
yang ingin menyekolahkan anaknya pasti akan bertanya kepada pihak sekolah, ”Di
sini ada komputer, nggak?”. Mengapa orangtua mengajukan pertanyaan ini? Karena
mind-set mereka saat itu adalah kalau anak menguasai ilmu komputer maka anak
akan sukses. Benarkah demikian?
Saat ini yang lagi ”in” adalah bahasa. Pertanyaan yang
selalu diajukan oleh kebanyakan orangtua adalah, ”Di sini bahasa pengantarnya
apa? Pake Inggris, Mandarin, atau hanya bahasa Indonesia?”
Nah, sama dengan komputer, mengapa orangtua mengajukan
pertanyaan ini? Jawabannya juga sama. Karena mereka berpikir bila anak mampu
menguasai bahasa asing, Inggris, atau
bahasa Aseng, Mandarin, maka anak pasti sukses di hidupnya kelak. Sekali lagi,
benarkah demikian?
Orangtua dan pendidik mempunyai tujuan yang baik dan mulia.
Namun sayangnya mereka tidak menyadari bahwa persepsi mereka mengenai sukses
didasari oleh asumsi yang salah. Asumsi adalah sesuatu yang diyakini sebagai
hal yang benar tanpa didukung oleh data-data yang valid. Asumsi yang salah
selanjutnya mempengaruhi persespsi. Persepsi ini kemudian menjadi koridor
berpikir yang menentukan arah dan hasil proses pikir mereka.
Nah, kembali ke masalah bahasa. Sebagai orangtua, pendidik,
pembicara publik, penulis buku, dosen psikologi, dan juga seorang terapis saya banyak
menemukan kasus anak yang ”hang” karena harus memenuhi ambisi dan tuntutan
orangtua. Banyak orangtua yang bangga bila anak mereka sejak usia belia telah
bisa cas cis cus (baca:berbicara) minimal bahasa Inggris atau kalau bisa
sekalian Mandarin.
Ada kawan yang anaknya baru berusia 4 tahun 3 bulan telah
dicap sebagai anak bodoh karena, setelah dikursuskan, masih mengalami kesulitan
menulis dalam bahasa Mandarin.
Ada
klien yang saat di PG/TK disekolahkan di sekolah yang bahasa pengantarnya
Inggris dan Mandarin. Namun saat masuk SD si anak, karena orangtuanya tidak
mampu menyekolahkan di sekolah internasional atau yang bi-lingual karena mahal,
masuk ke sekolah biasa dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Anak
ini mengalami kesulitan belajar yang luar biasa dan akhirnya mengalami trauma
yang cukup berat. Selidik punya selidik ternyata anak ini cukup cerdas.
Masalahnya adalah di bahasa. Jelas tidak mungkin kita bisa mempelajari sesuatu
dengan bahasa yang kita tidak kuasai. Dalam hal ini anak mengalami
double-trauma. Pertama, anak trauma dengan bahasa dan yang kedua adalah dengan
materi pelajaran.
Ada
lagi anak yang ”down” setelah di kelas
tiga SD. Alasannya sama. Anak mengalami kesulitan menguasai bahasa Inggris atau
Mandarin yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran.
Semua ini terjadi karena orangtua, karena ambisi yang
didasari oleh asumsi yang salah, tidak bisa membantu anaknya di rumah. Di
sekolah anak harus belajar dengan bahasa Inggris atau Mandarin. Sedangkan di
rumah anak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Ditambah
lagi orangtua juga nggak bisa bahasa Inggris atau Mandarin. Akibatnya sangat
fatal bagi perkembangan anak. Dalam hal ini perkembangan kecerdasan linguistik
anak menjadi terhambat dan ini mempengaruhi aspek kehidupan lainnya.
Pernah ada orangtua, yang anaknya saat itu di SD kelas 3
bermasalah akibat dipindahkan dari sekolah biasa ke sekolah dengan pengantar
bahasa Inggris, saat konsultasi dengan kami, berkata pada anaknya, saat itu si
anak bersin, ”Clean your nose. Jhu jhi. Ambil tisue cepat”.
Hebat kan
orangtua ini. Dalam satu kalimat ia menggunakan tiga bahasa sekaligus. ”Clean
your nose” artinya bersihkan hidungmu (ini bahasa Inggris). ”Jhu jhi” artinya
keluar (ini Mandarin), dan “Ambil tisue cepat” (bahasa Indonesia).
Tolong jangan salah mengerti. Saya tidak anti pendidikan
dengan bahasa pengantar bahasa Inggris atau Mandarin. Yang saya ingin sampaikan
adalah sebagai orangtua dan pendidik, kita harus hati-hati dan tidak hanya ikut
trend. Kita harus mendasari tindakan kita dengan alasan dan pengetahuan yang
benar.
Ada
banyak kawan saya yang anaknya sekolah di sekolah bi-lingual dan anak mereka
berkembang sangat baik. Kawan saya ini ternyata menguasai bahasa asing dengan
sangat baik. Dengan demikian mereka mampu membantu anak berkembang dengan
optimal.
Pertanyaannya sekarang, ”Kapan waktunya mengajari anak
bahasa asing? Bukankah waktu anak kecil otak mereka mampu belajar banyak hal
termasuk bahasa? Kalau tidak diajarkan banyak bahasa nanti apa nggak
terlambat?”
Saya ingin meluruskan satu hal. Kita boleh menstimulasi anak
dengan bahasa apa saja. Namun jangan memaksa mengajar anak banyak bahasa. Lha,
apa bedanya? Mengajar mengandung konsekuensi harus bisa. Sedangkan menstimulasi
adalah memberikan pengalaman belajar sebanyak-banyaknya, anak tidak harus bisa.
Kesulitan belajar bahasa timbul sebagai akibat proses
belajar bahasa yang salah. Cara belajar yang benar adalah kita belajar bicara
dulu. Baru setelah itu kita belajar tulis dan baca. Jadi, dari lisan ke
tulisan. Jangan dibalik. Coba perhatikan anak kita saat belajar bahasa ibunya.
Anak, saat masuk PG/TK, telah mampu berkomunikasi dengan baik. Saat di sekolah
barulah anak belajar membaca dan menulis. Proses ini bisa berjalan mulus karena
anak telah menguasai bahasa lisan.
Terlepas dari apa bahasa yang akan kita ajarkan kepada anak,
satu yang harus benar-benar orangtua perhatikan adalah anak membutuhkan fondasi
untuk menguasai bahasa lainnya, entah itu bahasa asing atau bahasa Aseng.
Fondasi ini adalah bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia. Mengapa bahasa Indonesia?
Ya, karena kita tinggal di Indonesia. Ini bukan masalah nasionalisme namun ini
kita bicara proses tumbuh kembang anak.
Pater Drost, di salah satu tulisannya, pernah bercerita
bahwa anak sekolah di Belanda, selama 6 tahun di sekolah dasar hanya diajarkan
satu bahasa yaitu bahasa Belanda. Tidak diajarkan bahasa lain. Namun begitu
anak-anak itu naik ke SMP dan SMA langsung diajarkan banyak bahasa asing.
Hasilnya? Mereka mampu menguasai dengan baik bahasa Inggris, Jerman, dan
Perancis. Kok bisa? Ya karena fondasinya kuat. Anak-anak itu menguasai bahasa
ibu mereka, bahasa Belanda, dengan sangat baik.
Lalu, apa hubungan antara apa yang telah saya uraikan
panjang lebar dengan judul artikel ini? Sangat erat. Sekarang saya akan
membahasnya secara lebih teknis.
Tool atau piranti adalah sesuatu yang membantu kita dalam
memecahkan suatu masalah, sebuah instrumen yang membantu kita melakukan suatu
tindakan. Selain mengembangkan piranti untuk membantu dan memudahkan kerja,
kita juga mencipta dan mengembangkan mental tools/piranti mental, atau piranti
pikir, untuk mengembangkan kemampuan mental kita. Mental tools ini membantu
kita untuk bisa memperhatikan, mengingat, dan berpikir lebih baik.
Ide mengenai piranti pikir atau mental tools dikembangkan
oleh Lev Vygotsky, psikolog Rusia (1896-1934), yang menjelaskan bagaimana anak
mengembangkan kemampuan mental yang semakin kompleks.
Para penerus Vygotsky percaya bahwa mental tools memainkan
peran yang sangat penting dalam pengembangkan kemampuan berpikir. Seiring
dengan proses tumbuh kembangnya, anak secara aktif menggunakan piranti yang
telah mereka ciptakan dan kembangkan serta mengembangkan piranti baru sesuai
kebutuhan mereka.
Kekurangan atau ketiadaan mental tools membawa akibat jangka
panjang negatif terhadap pembelajaran karena mental tools mempengaruhi tingkat
berpikir abstrak yang dapat dicapai seorang anak.
Mental tools bermanfaat untuk mempelajari dan memahami
konsep abstrak di bidang sains dan matemaika. Tanpa mental tools anak dapat
menghafal dan mengeluarkan fakta-fakta saintifik dari memori mereka namun tidak
bisa menerapkan pengetahuan ini untuk mencari solusi dari pertanyaan/masalah
yang mereka hadapi, yang sedikit berbeda dengan contoh yang telah mereka
pelajari sebelumnya.
Kemampuan berpikir abstrak dibutuhkan tidak hanya di sekolah
namun juga dalam mengambil berbagai keputusan dalam banyak aspek kehidupan saat
dewasa kelak, misalnya bagaimana membeli mobil, memilih investasi keuangan,
berpikir level tinggi (analisa, sintesa,dan evaluasi), termasuk juga
membesarkan dan mendidik anak yang sudah tentu membutuhkan kematangan dalam
kecakapan berpikir.
Bahasa adalah mekanisme untuk berpikir, suatu mental tool.
Bahasa membuat berpikir menjadi lebih abstrak, fleksibel, dan independen.
Bahasa memungkinkan anak untuk membayangkan, memanipulasi, mencipta ide-ide
baru, dan berbagi ide dengan orang lain. Dengan demikian bahasa mempunyai dua
fungsi utama; bahasa penting untuk mengembangkan kemampuan pikir dan bahasa
juga merupakan bagian dari proses pikir.
Bahasa dapat digunakan untuk mencipta berbagai strategi
untuk menguasai banyak fungsi mental seperti atensi, memori, perasaan, dan
pemecahan masalah.
Salah satu kekuatan pendekatan Vygotsky adalah ia tidak
hanya berbicara pada tataran teori namun juga praktik. Apa yang ia formulasikan
telah dicobakan dalam mengajar mental tools pada anak-anak. Sebagai pembanding
terhadap pendekatan Vygotsky pembaca bisa mempelajari pemikiran Piaget (constructivism),
Watson dan Skinner (behaviorism), Freud (psychoanalysis), Koffka (Gestalt
psychology), dan Montessori.
Terdapat empat prinsip yang mendasari pendekatan Vygotsky
yaitu:
- Anak mengkonstruk pengetahuan
- Pengembangan diri anak tidak bisa dipisahkan dari konteks
sosial
- Pembelajaran dapat membantu pengembangan diri
- Bahasa memainkan peran vital dalam pengembangan mental
Bila kita cermati maka keempat prinsip di atas semua
menggunakan bahasa sebagai medianya. Tidak mungkin tanpa bahasa. Oleh sebab itu
penguasaan bahasa, khususnya bahasa ibu, dengan baik mutlak dibutuhkan agar
anak mampu berkembang secara optimal.
Bila kita tarik benang merahnya ke kehidupan dewasa,
khususnya dalam aspek finansial, maka satu pertanyaan menarik dari Kevin Hogan
layak kita simak, ”What is the difference between the top 20% of people who
earn 80% of the money and the 80% of the people who earn 20% of the money?”
Jawabannya adalah:
- 20% orang itu adalah pakar di bidang komunikasi. Mereka
tahu bagaimana mengajukan pertanyaan dan menemukan kebutuhan dan keinginan
orang lain.
- Orang sukses adalah pakar di dua bidang. Pertama, di
bidang pekerjaan mereka yang mereka komunikasikan dengan sangat baik dengan
orang lain. Kedua, komunikasi pada level pikiran bawah sadar.
Sekali lagi, ini semua melibatkan kemampuan bahasa yang
tinggi.
Sebagai penutup artikel ini saya ingin memberikan pertanyaan
bagi anda, untuk menguji kemampuan bahasa Indonesia anda. Bisakah anda rasakan
apa bedanya pernyataan ini, ”Saya bertanggung jawab
kepada anda namun saya tidak bertanggung jawab untuk anda”.
Pembaca, semoga apa yang telah saya uraikan bisa bermanfaat
bagi anda. Saya bertanggung jawab kepada anda namun saya tidak bertanggung
jawab untuk anda.
Notes: Ini bukan artikel saya. Namun saya memiliki niat untuk berbagi dengan pembaca sekalian. Akan tetapi saya tidak mengetahui siapa penulis artikel ini. Maka dari itu saya menyarankan agar tidak melakukan copy paste artikel dari blog ini. Sekian~